Rabu, 17 Juni 2009

Film Makassar Diminati, Tiket Habis Terjual
SENIN, 25 MEI 2009 | 04:24 WITA
Makassar, Tribun

Forum Film Makassar (For Film) menggelar pemutaran film di Gedung kesenian Societeit de Harmonie Jl Riburane No 15 Makassar, Minggu (24/5). For Film merupakan komunitas yang melakukan kerja kesenian dan kebudayaan melalui media film

Kelahiran komunitas ini digagas sekitar 24 kelompok pencipta film di Makassar pada akhir tahun 2008. Dengan mengusung tema Film Untuk Makassar, ini merupakan program awal dari For Film. Ini juga sebagai tanda keberadaan For Film di dunia kesenian dan kebudayaan di Makassar.
Sebanyak enam sutradara di Makassar menuangkan ide-idenya mengenai kehidupan kota Makassar melalui film dokumenter dan fiksi. Acara pemutarannya berlangsung tiga sesi, dimulai pukul 13.00-15.00 wita untuk sesi pertama, pukul 16.00-18.00 wita untuk sesi kedua, dan pukul 20.00-22.00 wita untuk sesi ketiga.
Antusiasme warga untuk menyaksikan film karya mereka cukup tinggi. Pada sesi pertama, tiket sebanyak 150 lembar terjual habis. Bahkan Abo, salah satu penggemar film juga kehabisan tiket untuk sesi pertama.
Sutradara film Masalata' Cika yang sekaligus sekretaris For Film, Iking Siahsia, dan Sutradara Cinta Sama Dengan Cindolo Na Tape Rusmin Nuryadin, saat ditemui Tribun mengatakan, kegiatan adalah ajang silaturrahim dengan film maker (pembuat film) Makassar sekaligus untuk sharing. Film-film yang dibuat juga berbicara soal realitas di Makassar.
Penonton terdiri dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan umum. Mahasiswa juga antusias menonton sebagai bahan referensi untuk final, mereka ada tugas membuat film.(cr4)

Film yang tayang
1. Masalat' Cika (sutradara Iking, video dokumenter, durasi 10 menit)
2. Field (Sutradara Muh.Asyraf, fiksi, durasi 18 menit)
3. Dari Mulut Singa ke Mulut Buaya (sutradara Arman Dewarti, dokumenter, durasi 19 menit)
4. Dobel Enam (sutradara Ilham N.Bardiasyah, fiksi, durasi 20 menit)
5. Pamali (sutradara Rezkiani, fiksi, durasi 5 menit)
6. Cinta Sama Dengan Cindolo Na Tape (sutradara Rusmin Nuryadin, fiksi, durasi 26 menit).


Antara Daeng Te'ne dan Cika
(02 Jun 2009)
Laporan: ABDUL SALAM M, Wajo

Dari Pemutaran Film Pendek di Societeid de Harmoni

SINEAS Makassar unjuk gigi. Ragam konflik nyata warga metropolis terkemas apik dalam alur nan kritis.DAENG Te'ne menatap foto mendiang suaminya. Dia perempuan kurus berusia 70 tahun yang tak mampu lagi bekerja lantaran tulangnya merapuh. Te'ne hanya mengharap nafkah dari tujuh anaknya.

Air matanya tak kuasa ia bendung. Peristiwa yang merenggut nyawa sang suami itu terkenang lagi. Orang yang paling dicintainya meradang nyawa saat melakukan perlawanan ketika rumah mereka digusur aparat di wilayah Karawisi. Puluhan warga mengalami nasib yang sama.

Padahal rumah yang ia bangun lewat profesi cleaning service belum selesai. Kredit pinjaman dari salah satu bank belum lunas. Namun, apa daya tanah miliknya telah dicaplok pemilik modal. Daeng Te'ne tak kuat menghadapi korporat-korporat lokal yang didukung aparat kepolisian. Walau segenap tenaga telah ia kerahkan.

Penderitaan dari Daeng Te'ne tak jua berakhir. Di tempat tinggalnya yang baru di kawasan Bontoduri, harapan mendapatkan kehidupan tenang di usia senja menjadi impiannya. Namun, impian kebahagiaan tak jua menjadi kenyataan. Nasib nahas yang sama pun membentang.

Pertengahan 2008 yang lalu Daeng Te'ne pun terancam tergusur dari tanahnya yang sah. Pengusaha properti Makassar telah mengklaim tanahnya. Rencananya tanah itu akan dibangun area perumahan elit. Padahal akta jual beli tanah ia kantongi. Nasib yang sama dialami juga oleh puluhan warga Bontoduri.

Puluhan warga pun merapatkan barisan. Sebuah organisasi nirlaba berada di belakang layar di balik penentangan warga. Pengadilan Negeri Makassar dikuasai. Namun putusan pengadilan tetap tak berpihak. Pengadilan di negeri sudah tergadai oleh kepentigan materialime. Ia duduk terpaku memandang nasib yang tak pasti.

Padahal 40 tahun yang lalu saat meninggalkan desa kecil di Jeneponto. Bersama suaminya, harapan mendapatkan ke bahagiaan di kota metropolis terpampang di pelupuk matanya.

Kisah ini adalah potongan cerita film dokumenter berduri 19 menit "Dari Mulut Singa ke Mulut Buaya" sutradara Arman Dewarti. Film pendek ini diputar di Societed de Harmoni persembahan For Film Makassar, Minggu, 24 Mei, lalu.

Ada lima film pendek yang lain yang juga diputar di momen itu. Semuanya bercerita seputar gelagak kehidupan warga Makassar. Mulai dari warna-warni liberal hingga hedonisme kaum metropolis.
Masala' Cika sutradara Iking menggambarkan kehidupan warga jalanan. Field karya M Asyraf bercerita tentang makna cinta.

Dobel Enam garapan lham N Bardiansyah mengisahkan kebiasaan bermain domino pemuda Makassar. Pamali sutradara Rezkiani mengungkap mitos-mitos yang beredar di tanah Bugis Makassar. Sementara Cinta Sama Dengan Cendolo Na Tape mengisahkan cinta, persahabatan, dan pengaruh hedonisme.

Koordinator For Film Arman Dewarti mengaku pemutaran film ini sebagai bentuk apresiasi terhadap perfiliman di Makassar. Selama penggrapan kita dibantu oleh tiga fasilitator, masing-masing Alem Febri Sony, Aan Mansyuri, dan Arfan Sabran

"Workshop dimulai Januari. Mulai dari workshop content (isinya), cerita, sampai persentase," kata Arman sembari mengucapkan, film-film yang diputar merupakan perilaku warga Makassar.

Arman pun sangat puas dengan respons penonton terhadap karya sutradara lokal. "Kita mencetak 540 tiket dan semuanya tak ada yang kembali," kata Arman. Sukses film pendek ini menjadi motivasi sekaligus langkah awal penggarapan film panjang. "Dalam waktu dekat kita akan mengarah ke sana," ujarnya. (*)